Senin, 24 Oktober 2011
Penilaian Kesesuaian
Penilaian Kesesuaian mencakup kelembagaan dan proses penilaian untuk menyatakan kesesuaian suatu kegiatan atau suatu produk terhadap SNI tertentu. Penilaian kesesuaian dapat dilakukan oleh pihak pertama (produsen), pihak kedua (konsumen), atau pihak ketiga (pihak selain produsen dan konsumen), sejauh pihak tersebut memiliki kompetensi untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BSN. Sesuai dengan PP 102/2000, pelaksanaan tugas BSN di bidang penilaian kesesuaian ditangani oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang dibentuk oleh pemerintah untuk keperluan menjamin kompetensi pelaksana penilaian kesesuaian melalui proses akreditasi. KAN sebagai Badan Akreditasi Nasional mempunyai tugas untuk memberikan akreditasi kepada lembaga penilaian kesesuaian (Laboratorium Penguji, Labortaorium Kalibrasi dan Lembaga Sertifikasi). Lembaga Penilaian Kesesuaian yang telah diakreditasi oleh KAN mempunyai hak untuk menerbitkan sertifikat sesuai dengan lingkup akreditasinya. Seperti halnya dengan pengembangan SNI, penilaian kesesuaian juga harus memenuhi sejumlah norma sebagai berikut: (a) terbuka bagi semua pihak yang berkeinginan menjadi lembaga pelaksana penilaian kesesuaian; (b) transparan agar semua persyaratan dan proses yang diterapkan dapat diketahui dan ditelusuri oleh pemangku kepentingan; (c) tidak memihak dan kompeten agar pelaksanaan penilaian kesesuaian dapat dipercaya dan berwibawa; (d) efektif karena memperhatikan kebutuhan pasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (e) konvergen dengan pengembangan penilaian kesesuaian internasional. |
Pengembangan SNI
(a) Openess : Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI. (b) Transparency : |
(c) Consensus and impartiality : Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil; (d) Effectiveness and relevance : |
(e) Coherence : |
(f) Development dimension : |
Penguatan posisi Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN) merupakan organisasi non- pemerintah yang diperlukan untuk memberikan wadah dan saluran yang seluas mungkin bagi stakeholder untuk berpartisipasi dalam berbagai proses standardisasi .Dalam proses pengembangan SNI, khususnya dalam pelaksanaan tahap jajak pendapat dan tahap persetujuan RSNI. agar partisipasi dan pelaksanaan konsensus pihak berkentingan dapat semakin luas.
Restrukturisasi Panitia Teknis SNI agar masing-masing memiliki lingkup yang jelas, terstruktur, dan tidak tumpang tindih satu sama lain.
Tahap 1 Pemrograman SNI Tahap 2 Perumusan Rancangan SNI (RSNI) Tahap 3 Jajak Pendapat RSNI3 Tahap 4 Persetujuan RSNI4 Tahap 5 Penetapan SNI Tahap 6 Pemeliharaan SNI |
Penerapan SNI
Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela, artinya kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI tidak dilarang.
Dengan demikian untuk menjamin keberterimaan dan pemanfaatan SNI secara luas, penerapan norma - keterbukaan bagi semua pemangku kepentingan, transparan dan tidak memihak, serta selaras dengan perkembangan standar internasional - merupakan faktor yang sangat penting. Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.
Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk (regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang.
Dengan demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk menghindarkan sejumlah dampaksebagai berikut:
(a) menghambat persaingan yang sehat;
(b) menghambat inovasi; dan
(c) menghambat perkembangan UKM.
Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib bagi kegiatan atau produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi, sehingga pengaturan kegiatan dan peredaran produk mutlak diperlukan
Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI itu. Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian kesesuaian berfungsi sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.
Mengingat bahwa pemberlakuan regulasi teknis di suatu negara juga berlaku untuk produk impor, maka untuk menghindarkan terjadinya hambatan perdagangan internasional/negara anggota WTO termasuk Indonesia telah menyepakatiAgreement on Technical Barrier to Trade (TBT) dan Agreement on Sanitary and Phyto Sanitary Measures (SPS). Upaya pengurangan hambatan perdagangan tersebut akan berjalan dengan baik apabila masing-masing negara dalam memberlakukan standar wajib, menerapkan Good Regulatory Practices.
Untuk perjanjian TBT pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut :
Dengan demikian untuk menjamin keberterimaan dan pemanfaatan SNI secara luas, penerapan norma - keterbukaan bagi semua pemangku kepentingan, transparan dan tidak memihak, serta selaras dengan perkembangan standar internasional - merupakan faktor yang sangat penting. Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.
Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk (regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang.
Dengan demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk menghindarkan sejumlah dampaksebagai berikut:
(a) menghambat persaingan yang sehat;
(b) menghambat inovasi; dan
(c) menghambat perkembangan UKM.
Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib bagi kegiatan atau produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi, sehingga pengaturan kegiatan dan peredaran produk mutlak diperlukan
Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI itu. Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian kesesuaian berfungsi sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.
Mengingat bahwa pemberlakuan regulasi teknis di suatu negara juga berlaku untuk produk impor, maka untuk menghindarkan terjadinya hambatan perdagangan internasional/negara anggota WTO termasuk Indonesia telah menyepakatiAgreement on Technical Barrier to Trade (TBT) dan Agreement on Sanitary and Phyto Sanitary Measures (SPS). Upaya pengurangan hambatan perdagangan tersebut akan berjalan dengan baik apabila masing-masing negara dalam memberlakukan standar wajib, menerapkan Good Regulatory Practices.
Untuk perjanjian TBT pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut :
Sejauh dimungkinkan, pengembangan standar nasional tidak boleh ditujukan untuk atau berdampak menimbulkan hambatan perdagangan. Oleh karena itu pengembangan standar nasional diupayakan mengacu dan tidak menduplikasi standar internasional, memberikan kesempatan bagi pemangku kepentingan untuk memberikan tanggapan dan masukan, serta dipublikasikan melalui media yang dapat diakses secara luas. Apabila perbedaan dengan standar internasional tidak dapat dihindarkan untuk tujuan yang sah, maka perbedaannya harus dengan mudah diketahui dan lembaga standar nasional harus bersedia memberikan penjelasan kepada semua pihak yang memerlukan, mengapa perbedaan tersebut diterapkan.
Penetapan regulasi teknis termasuk pemberlakuan standar wajib tidak boleh dimaksudkan untuk atau berdampak menimbulkan hambatan perdagangan yang berkelebihan. Oleh karena itu sejauh dapat mencapai tujuannya, suatu /regulasi teknis harus mengacu pada standar internasional. Apabila untuk keperluan yang sah penerapan ketentuan teknis yang berbeda dengan standar internasional tidak dapat dihindarkan, maka rencana regulasi teknis tersebut harus diumumkan(notification) untuk mermberikan kesempatan bagi semua pihak di negara anggota WTO lain untuk bertanya dan memberikan pandangan (enquiry) selama sedikitnya 60 hari. Untuk keperluan itu setiap negara anggota WTO harus menetapkan lembaga yang berfungsi sebagai notification body dan enquiry point. Di Indonesia, BSN telah ditunjuk sebagai notification body dan enquiry point untuk perjanjian TBT. Untuk memberikan kesempatan semua pihak mempersiapkan diri, suatu regulasi teknis atau penerapan standar wajib baru dapat diberlakukan secara efektif sekurang-kurangnya 6 bulan setelah ditetapkan. Pemberlakuan regulasi teknis tidak boleh membedakan produk yang diproduksi di dalam negeri dengan produk yang diproduksi di negara lain, dan tidak mendiskriminasikan produk dari suatu negara tertentu dengan produk dari negara lainnya.
Penilaian kesesuaian terhadap produk dari luar negeri harus sama dengan penilaian kesesuaian bagi produk dalam negeri, dan tidak menerapkan perlakuan yang diskriminatif bagi negara yang berbeda. Sejauh mungkin setiap negara anggota WTO harus mengupayakan agar pelaksanaan penilaian kesesuaian bagi barang impor dapat diakses dengan mudah di negara produsen dan tidak menimbulkan beban yang berkelebihan. Oleh karena itu, sejauh dimungkinkan sistem penilaian kesesuaian yang ada di negara lain dapat diterima. Untuk keperluan itu, negara anggota WTO harus memberikan tanggapan positif terhadap permintaan negara lain untuk menjalin perjanjian MRA.
Peningkatan persepsi masyarakat terhadap standar dan penilaian kesesuaian adalah hal mutlak yang harus dilakukan oleh BSN, mengingat hingga saat ini kesadaran masyarakat didalam memproduksi dan atau mengkonsumsi suatu produk belumlah didasarkan atas pengetahuan terhadap standar/mutu produknya melainkan masih didasarkan atas pertimbangan harga. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap standar dapat dilihat dari banyaknya produk-produk luar negeri yang dikonsumsi masyarakat yang tidak sesuai dengan standar dan rendahnya kesadaran produsen dalam menerapkan standar, kecuali produk-produk yang dikenakan standar wajib. Untuk meningkatkan persepsi masyarakat dibutuhkan; kampanye nasional standardisasi secara terus menerus dan berkesinambungan, program edukasi dan penyadaran masyarakat, pembuatan kurikulum pelatihan standardisasi, peningkatan partisipasi masyarakat serta mendorong keterlibatan lembaga-lembaga pelatihan dalam mendidik dan membina tenaga ahli standardisasi.
Penetapan regulasi teknis termasuk pemberlakuan standar wajib tidak boleh dimaksudkan untuk atau berdampak menimbulkan hambatan perdagangan yang berkelebihan. Oleh karena itu sejauh dapat mencapai tujuannya, suatu /regulasi teknis harus mengacu pada standar internasional. Apabila untuk keperluan yang sah penerapan ketentuan teknis yang berbeda dengan standar internasional tidak dapat dihindarkan, maka rencana regulasi teknis tersebut harus diumumkan(notification) untuk mermberikan kesempatan bagi semua pihak di negara anggota WTO lain untuk bertanya dan memberikan pandangan (enquiry) selama sedikitnya 60 hari. Untuk keperluan itu setiap negara anggota WTO harus menetapkan lembaga yang berfungsi sebagai notification body dan enquiry point. Di Indonesia, BSN telah ditunjuk sebagai notification body dan enquiry point untuk perjanjian TBT. Untuk memberikan kesempatan semua pihak mempersiapkan diri, suatu regulasi teknis atau penerapan standar wajib baru dapat diberlakukan secara efektif sekurang-kurangnya 6 bulan setelah ditetapkan. Pemberlakuan regulasi teknis tidak boleh membedakan produk yang diproduksi di dalam negeri dengan produk yang diproduksi di negara lain, dan tidak mendiskriminasikan produk dari suatu negara tertentu dengan produk dari negara lainnya.
Penilaian kesesuaian terhadap produk dari luar negeri harus sama dengan penilaian kesesuaian bagi produk dalam negeri, dan tidak menerapkan perlakuan yang diskriminatif bagi negara yang berbeda. Sejauh mungkin setiap negara anggota WTO harus mengupayakan agar pelaksanaan penilaian kesesuaian bagi barang impor dapat diakses dengan mudah di negara produsen dan tidak menimbulkan beban yang berkelebihan. Oleh karena itu, sejauh dimungkinkan sistem penilaian kesesuaian yang ada di negara lain dapat diterima. Untuk keperluan itu, negara anggota WTO harus memberikan tanggapan positif terhadap permintaan negara lain untuk menjalin perjanjian MRA.
Peningkatan persepsi masyarakat terhadap standar dan penilaian kesesuaian adalah hal mutlak yang harus dilakukan oleh BSN, mengingat hingga saat ini kesadaran masyarakat didalam memproduksi dan atau mengkonsumsi suatu produk belumlah didasarkan atas pengetahuan terhadap standar/mutu produknya melainkan masih didasarkan atas pertimbangan harga. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap standar dapat dilihat dari banyaknya produk-produk luar negeri yang dikonsumsi masyarakat yang tidak sesuai dengan standar dan rendahnya kesadaran produsen dalam menerapkan standar, kecuali produk-produk yang dikenakan standar wajib. Untuk meningkatkan persepsi masyarakat dibutuhkan; kampanye nasional standardisasi secara terus menerus dan berkesinambungan, program edukasi dan penyadaran masyarakat, pembuatan kurikulum pelatihan standardisasi, peningkatan partisipasi masyarakat serta mendorong keterlibatan lembaga-lembaga pelatihan dalam mendidik dan membina tenaga ahli standardisasi.
Penelitian dan Pengembangan Standardisasi
1. Tugas dan Fungsi | |||||||||||||||
| |||||||||||||||
2. Kebijakan dan Arah | |||||||||||||||
| |||||||||||||||
4. Kerjasama Penelitian | |||||||||||||||
--Under development-- | |||||||||||||||
5. Hasil-Hasil Penelitian | |||||||||||||||
| |||||||||||||||
5.1 Kajian Area Baru Standardisasi | |||||||||||||||
| |||||||||||||||
5.2 Kajian Penerapan dan Pertumbuhan SNI di Industri - 2008 | |||||||||||||||
| |||||||||||||||
5.3 Kajian Awal Dampak Ekonomis Penerapan SNI Pada Produk Prioritas Terhadap Ekonomi Nasional | |||||||||||||||
| |||||||||||||||
5.4 Penelitian Kebutuhan Pasar SNI Berdasarkan Struktur Produk Sawit, Ban dan Baja | |||||||||||||||
| |||||||||||||||
5.5 Kajian Integritas Penggunaan Tanda SNI Dalam Produk Program Konversi Energi, Minyak Tanah ke Gas | |||||||||||||||
|
National Enquiry Point and Notification Authority WTO TBT
Standardisasi sebagai unsur penunjang pembangunan, mempunyai peranan penting dalam usaha mengoptimalisasi pendayagunaan sumber daya dalam kegiatan pembangunan. Perangkat standardisasi berperan pula dalam menunjang kemampuan produksi khususnya peningkatan perdagangan dalam negeri dan luar negeri, serta pengembangan industri dan perlindungan konsumen. Oleh karenanya setiap negara mempunyai standar nasional dan regulasi teknis yang dalam implementasinya dapat merupakan hambatan teknis bagi negara lain dalam perdagangan. Untuk mengurangi hambatan tersebut, pada tahun 1979 dalam Putaran Tokyo disepakati adanya perjanjian Standard Codeatau Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) yang dilanjutkan dengan pembentukan World Trade Organization (WTO) di Putaran Uruguay. Isi kesepakatan dalam Putaran Uruguay tersebut antara lain adalah penyelarasan standar nasional dengan standar internasional agar tercipta transparansi dalam Sistem Standardisasi Nasional yang merupakan tuntutan dalam perdagangan internasional. Mempertimbangkan bahwa tata cara pengembangan standar, penetapan regulasi teknis dan pelaksanaan penilaian kesesuaian diatur melalui berbagai ketentuan dalam perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT) dan perjanjian Sanitary and Phyto-Sanitary (SPS) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari beberapa perjanjian yang ada dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) – WTO. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa untuk menghindarkan hambatan teknis perdagangan maka pengembangan standar, regulasi teknis dan penilaian kesesuaian di negara-negara anggota WTO harus mengacu kepada standar dan pedoman yang dikembangkan oleh organisasi internasional yang relevan. Organisasi perumus standar internasional yang diakui dan direkomendasikan oleh WTO antara lain adalah ISO (International Organization for Standardization), IEC (International Electrotechnical Commission), CAC (Codex Alimentarius Commission), dan ITU (International Telecommunication Union). Mengacu pada perjanjian TBT/WTO – Annex 3 - Code of Good Practice for the Preparation, Adoption and Application of Standards, maka pengembangan standar nasional, dalam hal ini SNI, harus memenuhi prinsip-prinsip : (a) openess, artinya terbuka bagi semua pemangku kepentingan yang berkeinginan untuk terlibat; (b) transparant, artinya agar semua pemangku kepentingan dapat dengan mudah mengikuti proses dan memperoleh semua informasi yang berkaitan dengan pengembangan SNI; (c) impartial, artinya tidak memihak kepada salah satu pihak sehingga semua pemangku kepentingan dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil; (d) development dimension, artinya bahwa dalam perumusan SNI harus memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional sehingga dapat meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional; (e) effective and relevant, artinya bahwa dalam perumusan SNI harus betul-betul yang sesuai dengan skala prioritas dengan memperhatikan kebutuhan pasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (f) consensus, artinya bahwa dalam perumusan SNI harus disepakati oleh pemangku kepentingan dan (g) coherent, artinya bahwa dalam perumusan SNI harus mengacu pada standar internasional tetapi tidak duplikasi dalam proses perumusannya, sehingga produk-produk nasional akan lebih mudah memasuki pasar internasional. Mengacu pada ketentuan TBT-WTO, dalam rangka menegakkan “transparency”, maka setiap regulasi teknis , pemberlakuan standar dan penilaian kesesuaian yang mempunyai dampak hambatan terhadap perdagangan perlu dinotifikasikan ke secretariat TBT-WTO. Setiap anggota WTO diharuskan untuk menunjuk satu lembaga atau institusi yang berfungsi sebagai notification dan enquiry point yang bertugas untuk menotifikasikan setiap rancangan regulasi teknis dan menjawab semua pertanyaan terkait standar, regulasi teknis, dan sistem penilaian kesesuaian yang berlaku di masing-masing negara angggota. Dalam kerangka pemenuhan persetujuan tersebut, aturan tersebut, pada tanggal 22 Maret 1996, Indonesia menotifikasikan kepada Sekretariat WTO mengenai Penerapan dan Administrasi (Pengaturan) terkait Perjanjian TBT tersebut (Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pembentukan WTO tersebut melalui UU no 7 tahun 1994) dengan menyebutkan bahwa untuk menangani hambatan teknis dalam perdagangan (Technical Barriers to Trade/TBT-WTO), BSN telah ditetapkan sebagai Badan Notifikasi (Notification Body) dan Pelayanan Pertanyaan (Enquiry Point) TBT-WTO dengan sekretariat di Pusat Kerjasama Standardisasi – BSN. Notifikasi ini direvisi melalui notifikasi no G/TBT/2/Add.3/Rev.1 pada tanggal 18 Mei 2004. · Fungsi Notification Body adalah untuk memberikan informasi tentang rencana pemberlakuan regulasi teknis baru, standar dan prosedur penilaian agar pihak berkepentingan di negara WTO lain dapat memberikan pandangan/masukan serta dapat mempersiapkan diri. · Fungsi Enquiry Point adalah untuk memberikan informasi atas pertanyaan dari pihak berkepentingan di setiap anggota WTO tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan regulasi teknis, standar dan prosedur penilaian, baik yang telah berlaku atau yang akan diberlakukan. BSN selaku Badan Notifikasi (Notification Body) dan Pelayanan Pertanyaan (Enquiry Point) TBT-WTO bertugas mengkoordinasikan kegiatan terkait penanganan berbagai permasalahan penerapan persetujuan TBT-WTO di Indonesia. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tugas pokok tersebut meliputi hal-hal: · Notifikasi Rancangan Peraturan teknis perdagangan dan rancangan Standar Nasional Indonesia (R-SNI) wajib yang ditetapkan oleh Instansi Teknis Pemerintah Indonesia. · Pemberian tanggapan terhadap notifikasi Rancangan Peraturan Teknis Perdagangan dan/atau rancangan standar wajib yang telah dinotifikasikan oleh negara-negara anggota WTO (negara penotifikasi) · Koordinasi, persiapan posisi Indonesia dan pengiriman delegasi Indonesia dalam sidang-sidang TBT-WTO. · Sosialisasi peraturan-peraturan yang terkait dengan TBT-WTO (TBT-Agreement) dan penerapannya kepada seluruh stakeholder BSN. Sampai saat ini dalam rangka perlindungan dan keselamatan konsumen, Pemerintah Indonesia telah menotifikasikan rancangan Peraturan teknis, serta telah mengadopsi Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai regulasi teknis. Berdasarkan kategorinya, beberapa SNI yang telah dinotifikasikan ke Secretariat WTO untuk diberlakukan penerapannya secara wajib antara lain adalah: a). Kualitas produk yang dikonsumsi masyarakat, meliputi susu formula, tepung terigu yang harus difortifikasi, 15 SNI untuk pupuk, dan gula kristal mentah. b). Persyaratan keselamatan untuk perlindungan konsumen, seperti lampu swa-ballast, frekuensi sistem arus bolak-balik fase tunggal dan fase tiga 50 herts, pemutus sirkuit untuk proteksi arus lebih untuk instalasi rumah tangga, persyaratan umum instalasi listrik (PUIL), tanda keselamatan pemanfaat listrik, persyaratan keselamatan pemanfaat listrik untuk rumah tangga, persyaratan saklar untuk instalasi tetap rumah tangga, persyaratan tusuk kontak untuk keperluan rumah tangga dan persyaratan khusus untuk kipas angin. c). Keselamatan untuk transportasi darat, meliputi : ban kendaraan (terdiri dari ban mobil penumpang, ban truk ringan, ban truk dan bus, ban sepeda motor, ban dalam kendaraan bermotor), kaca pengaman kendaraan bermotor, dan helm pengaman. d). Keselamatan bangunan dan konstruksi, meliputi semen (terdiri dari semen portland putih, semen portland pozolan, semen portland, semen portland campur, semen masonry, semen portland komposit, semen masonry, semen portland komposit), baja tulangan beton, baja lembaran lapis seng, e). Keselamatan produk untuk pengguna, seperti kompor gas bahan bakar LPG satu satu tungku dengan sistem pemantik mekanik dan kelengkapannya (tabung baja, katup tabung, regulator tekanan rendah untuk tabung baja LPG, dan selang karet kompor gas) Mengacu pada ketentuan TBT-WTO, konsekuensi dari pemberlakuan wajib standar ini maka semua produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, baik yang diproduksi didalam negeri maupun yang diimpor, harus memenuhi semua persyaratan SNI. Indonesian Notification Body and Enquiry Point for TBT-WTO Pusat Kerjasama Standardisasi - BSN C.P. : Sdr. Nyoman Supriyatna / Hendro Kusumo / Esti Premati Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 4 Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270 Telp. (021) 574 7043/44 ext 215, Fax. (021) 574 7045 e-mail: kerj_int@bsn.or.id atau tbt.indonesia@gmail.com |
Langganan:
Postingan (Atom)